Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya
dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian
dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana
kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian
terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan
takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali
menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
“Sesungguhnya setiap umat
itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian
yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari
‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia
bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
Adapun
manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun
bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata:
“Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak
setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan
limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya.
Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan
tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar
kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya.
Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana
Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga,
dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di
dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang
diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya
sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak
boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang
benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu
kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan
mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului
kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat.
Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka
bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya,
orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak
olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu
billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan
tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukanlah
kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan
dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada
orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya
sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan
membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang
sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu
‘anhu)
“Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan
khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia
ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa
Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari
kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam
firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud
ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang
berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat.
Sebagaimana
ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat
dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada
keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang sesat
dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para
pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di
antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti
bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g
bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang
lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan
mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai)
ucapan maupun perbuatan mereka. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang
dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari
jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka
memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat
keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi
dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa
jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di
atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan
ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus
menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan
mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa
kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah
berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang
menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama.
Telah
terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma
berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman
radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku
untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh,
demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa
tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar
(zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia
memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha.
Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka
kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam
hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah
kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya
engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini
(al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka
barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan
berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap
remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang
yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk
mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita
yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan.
Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi
ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan
dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan
bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi
kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau
hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya,
maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali
dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat
perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam
bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut
(kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu
akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara
sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah
sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para
ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa
nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
“Ya Allah, tampakkanlah
kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami
untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan
dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan masukan, kritik, dan terima kasih sudah berkunjung. subscribe untuk mendapatkan informasi terbaru.